Hapusnya
Suatu Perikatan
Senin
13 Maret 2017
Pasal 1381 KUHPer menyebutkan
sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
- Pembayaran;
- Penawaran pembayaran tunai
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
- Pembaharuan utang;
- Perjumpaan utang atau kompensasi;
- Pencampuran utang;
- Pembebasan utang;
- Musnahnya barang yang
terutang;
- Batal/pembatalan;
- Berlakunya suatu syarat batal
dan
- Lewatnya waktu
(Daluawarsa).
Selain cara-cara di atas, ada
cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya : berakhirnya suatu ketetapan
waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa
macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian
firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat
dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.
1. Pembayaran.
Dengan “pembayaran” dimaksudkan
setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang wajib membayar suatu utang,
bukan saja si berutang, tetapi juga seorang kawan berutang dan seorang
penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer diterangkan bahwa suatu perikatan
dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan,
asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi
utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia
tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar pembayaran itu sah, perlu orang
yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan dan berkuasa
memindahtangankannya.
Pembayaran harus dilakukan kepada si
berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga
kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh UU untuk menerima
pembayaran-permbayaran bagi si berpiutang.
2. Penawaran pembayaran tunai
diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
Merupakan cara pembayaran yang harus
dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu adalah
sebagai berikut :
- Barang atau uang yang akan
dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang
juru sita pengadilan kepada kreditur atas nama debitur, pembayaran mana
akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang
telah diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu
proses perbal.
- Apabila kreditur suka menerima
barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran
itu.
- Apabila kreditur menolak, maka
notaris/juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses
perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal
itu akan dicatat oleh notaris/jurusita di atas surat proses perbal
tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa si berpiutang
telah menolak pembayaran.
- Langkah
berikutnya: Debitur di muka Pengadilan Negeri dengan permohonan
kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran
yang telah dilakukan itu.
- Setelah itu, maka barang atau
uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera
Pengadilan Negeri dan dengan demikian utang piutang itu sudah hapus.
Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan
Pengadilan Negeri atas tanggungan (resiko) si berpiutang.
Si berpiutang sudah bebas dari utangnya.
Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai
dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berutang.
3. Pembaharuan utang atau Novasi
Menurut pasal 1413 KUHPer, ada 3
macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi,
yaitu:
- Apabila seorang yang berutang
membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang
menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Disebut dengan
novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian.
- Apabila seorang berutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang
dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi subjektif passif karena yang
diganti adalah debiturnya;
- Apabila sebagai akibat suatu
perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan
kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.
Disebut sebagai novasi subjektif aktif karena yang diganti adalah
krediturnya.
4. Perjumpaan utang atau
kompensasi
Merupakan cara penghapusan utang
dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal
balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berutang satu pada
yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5. Perjumpaan tersebut terjadi demi
hukum
Agar dua utang dapat diperjumpakan,
perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan
seketika dapat ditagih. Kedua utang itu harus sama-sama mengenai uang atau
barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan kwalitet yang sama, misalnya beras
kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi dengan tidak
dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu telah
lahir, terkecuali:
- Apabila dituntutnya
pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas
dari pemiliknya;
- Apabila dituntutnya
pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
- Terdapat sesuatu utang yang
bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita
(alimentasi).
Jadi ketentuan di atas merupakan
larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.
6. Pencampuran utang
Apabila kedudukan sebagai orang
berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang,
maka terjadi demi hukum suatu pencampuran utang dengan mana utang-piutang itu
dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris
tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu
persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal pencampuran ini, adalah
betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
Pencampuran utang yang terjadi pada
dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung
utangnya (“borg). Sebaliknya pencampuran yang terjadi pada seorang penanggung
utang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
7. Pembebasan utang
Apabila si berpiutang dengan tegas
menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan
haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan – yaitu
hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan.
Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan,
misalnya pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si
berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan utang perlu diterima baik
dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan utang-piutang
telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga kemungkinan seorang debitur tidak
suka dibebaskan dari utangnya.
Perbedaan antara pembebasan utang
dengan pemberian (“schenking”) adalah bahwa pembebasan utang tidak
menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan
perikatan, dan dengan suatu
pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya suatu pemberian
meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak yang menerima hibah
dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari
pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Musnahnya barang yang terutang Jika
barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang,hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang
itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang
di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
8. Batal/pembatalan
Perjanjian-perjanjian yang
kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan
pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh
pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan
atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan
syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara:
- Pertama, secara aktif menuntut
pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim.
- Kedua, secara pembelaan, yaitu
menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan di
situlah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
Untuk penuntutan secara aktif diberi
batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak
diadakan pembatasan waktu itu. Penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh
Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari pihak yang dirugikan,
karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan
yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta
pembatalan.
Ada pula kekuasaan yang oleh “Ordonansi
Woeker” diberikan kepada Hakim untuk membatalkan perjanjian, kalau ternyata
antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban secara timbal balik, yang
satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat
secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.
9. Berlakunya syarat batal
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan
yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan
masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan
sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut
terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan
dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang
kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau
dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang
terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya
suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian.
Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan
perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah
tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu, syarat batal itu mewajibkan si
berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku surutnya pembatalan itu hanyalah suatu
pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan.
10. Lewat waktu (Daluwarsa)
Menurut pasal 1946 KUHPer, yang
dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu
atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu
dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik
atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitif”, sedangkan daluwarsa
untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa
“extinctif”.
Menurut pasal 1967, segala tuntutan
hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus
karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang
menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak,
lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan
kepada itikadnya yang buruk.
Kesimpulan :
Dengan lewatnya waktu tersebut di
atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu “perikatan bebas”
artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur
jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan
tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak
atau menangkis setiap tuntutan.
Daftar
pustaka
http://blogprinsip.blogspot.co.id/2012/10/hapusnya-suatu-perikatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar